Jumat, 21 September 2012

Keong Racun

Eh ada kiriman dateng..

Wew.. isinya keong racun. Kalo kata yang jual sih donat J.Co soalnya ukurannya ga beda jauh. Ini turbo IHI RHB32.. Biasanya nempel di mesin mobil 600-1000cc.. tapi kali ini gw bakal puter otak gimana caranya keong ini bisa bersin di mesin gw. cusss.. cusss..

Bongkar dulu untuk cek sirip kipas dan tanda-tanda kebocoran sekaligus di-clocking. Sepertinya sih kondisinya siap geberr..


Kira-kira penempatannya begini nanti..


Charge pipe-nya bakal meliuk-liuk kayak ular supaya ga nyenggol engkol selah dan kudu belok tajam supaya ketemu sama moncong throttle body-nya.

Tampak depan.. sengaja sisi pembuangannya ngarah ke depan supaya ga ngerombak knalpotnya banyak-banyak.

Sekarang lagi kesulitan nyari tukang knalpot yang bisa bikin jalur knalpot dan intakenya.. Sebenernya gw rada ragu pake RHB32.. Harusnya RHB31 dan itupun gw rasa lag-nya masih gede. Ya udah deh gapapa daripada ga ada..

Kamis, 20 September 2012

Celana Pendek Merah

Di posting sebelumnya gw udah jelasin bahwa gw sempet bikin mesin gw jadi full standalone dengan bermodalkan pangkas tonjolan pulser dan nyisain bagian belakangnya aja sepanjang 5 derajat. Cara ini meskipun bisa dipake jalan tapi belum sempurna karena gasnya harus ditahan di atas 2000 RPM. Kalo dilepas, langsamnya liar dan mesinnya langsung mati.

Apa penyebabnya? Setelah gw browsing dan analisa, penyebabnya adalah karena mesin gw cuma satu silinder. Lho apa hubungannya? Kecepatan rotasi piston mesin satu silinder, terutama di putaran bawah, tidak konstan. Piston berakselerasi pada saat langkah tenaga, kemudian melambat hingga gerakan paling lambat ada di langkah kompresi karena harus melawan tekanan campuran bensin dan udara dan setelah campurannya terbakar busi, piston kembali berakselerasi dan begitu seterusnya. Putaran kruk as
juga ikut-ikutan tidak konstan. Akibatnya, prediksi waktu tunda ECU juga kacau.. dan akhirnya timing pengapiannya juga berantakan kayak isi popok bayi. Kenapa cuma di putaran bawah? Di putaran atas, bobot magnet sudah cukup untuk menjaga inersia putaran kruk as sehingga kecepatan putarannya juga lebih konstan dan prediksi waktu tunda ECU juga lebih tepat.


Jadi apa obatnya?


Pertama, tambahin pistonnya tiga biji. Wkwkwk.. pada mesin empat silinder, kecepatan gerak pistonnya relatif lebih konstan karena piston-pistonnya akan saling mengimbangi. Akselerasi langkah tenaga pada satu piston akan diimbangi dengan deselerasi langkah kompresi piston satunya. Ngubah mesin Tiger gw jadi 4 silinder? Wew..


Kedua, tambahin bobot magnetnya. Magnet yang lebih berat akan memiliki inersia yang lebih besar juga. Di putaran bawah, magnet yang berat akan meredam akselerasi piston sehingga putarannya akan lebih konstan. Resikonya, tarikan mesin akan sedikit lemot karena harus melawan bobot magnet yang berlebih. Lagipula, dengan cuma satu silinder, gw ga kebayang berapa banyak bobot yang harus ditambahin ke magnet gw.


Ketiga, tambahin jumlah tonjolan magnetnya. Yamaha pasti punya alasan kenapa magnet Vixion atau Jupiter Z1 punya tonjolan yang banyak. Apa alasannya? Karena dengan tonjolan yang banyak, ECU akan lebih presisi dalam membaca derajat rotasi kruk as dan prediksi timing pengapiannya akan lebih tepat. Misalnya di Vixion ada 11 tonjolan + 1 gap yang berselisih 30 derajat, artinya ECU Vixion bisa membedakan antara piston pada titik TMA atau pada titik 30 derajat setelah TMA. Lebih presisi lagi magnet Jupiter Z1 yang jumlahnya 17 tonjolan + 1 gap yang artinya tiap tonjolan selisihnya 360/18 = 20 derajat. Nih gambar magnet Vixion..




Udah ketebak kan gw pilih cara yang mana?

Pertama, magnet dicopot, dibawa ke tukang bubut dan ditambah daging dengan las listrik.


Kedua, daging tambahannya dibubut hingga lebar dan tingginya sama dengan tonjolan asli Tiger.


Ketiga, dibuat gigi tonjolan sebanyak 36 biji dengan mesin pembagi. Jadi deh..


Jadi sekarang magnet gw punya 36 tonjolan yang berarti tingkat presisinya melebihi Jupiter Z1 yaitu 360/36 = 10 derajat. Sebenernya gw cuma butuh 35 tonjolan karena nanti satu tonjolan bakal digerinda lagi sebagai titik acuan reset ECU.

Wuiiih.. jadi udah sukses dong bikin injeksi full standalone? Wkwkwkw..untuk kali ini, gw malu ama kaum celana pendek merah alias anak SD. Anak SD aja tahu magnet bakal hilang daya tariknya kalau kena panas. Sejak langkah pertama, gw udah salah.. Masa magnetnya ditambah daging pake las listrik? Ya langsung berubah jadi ganjelan pintu alias ga berguna. Sempet sih gw tanya-tanya bisa ga magnetnya dituker sama magnet gw yang asli. Sayang sekali belum ada yang berani di Lampung sini.. biji magnet di dalamnya itu sebenernya rapuh. Kena getok dikit langsung pecah, jadi belum ada yang bisa.. Makanya pelajaran SD jangan dilawan..


Sebenernya masih bisa sih gw pasang magnet 36 tonjolan gw tapi resikonya harus siap-siap mogok di tengah jalan gara-gara aki tekor.. Jadi, untuk sekarang ini gw terpaksa balik dulu ke sistem fuel-only dengan magnet dan CDI asli sambil berburu magnet Tiger lagi. Lain kali, gw pake aja 36 gigi yang ada di magnet lama gw dan gw pres ke magnet satunya dengan dioverbos.


Selasa, 18 September 2012

(Dikit Lagi) Full Standalone

Waktu awal gw konversi ke injeksi, Honda Tiger gw baru pake sistem fuel-only (FO), alias cuma injeksi bensin aja yang diatur sama ECU. Untuk timing pengapian masih dikendaliin oleh sistem CDI aslinya. Selama pake FO, gw sempurnain dulu fuel mapnya. Sekarang, meskipun cuma bermodal sensor oksigen narrow-band, gw bisa bilang fuel map gw udah lumayan. Jadi gw jalanin tahap selanjutnya yaitu ubah ke fuel and spark alias full standalone (FS).
Untuk ngejalanin sistem FS, ECU butuh acuan posisi sudut rotasi kruk as yang lebih presisi daripada ketika pakai sistem FO. Sudut acuan ini disebut sebagai trigger angle alias sudut picu. Kenapa harus presisi? Karena acuan ini bakal dipakai untuk nentuin timing pengapiannya. Sebagai contoh, kita tentuin acuannya ada di 60 derajat sebelum TMA. Misalnya kita mau timing pengapiannya ketika 6000 RPM ada di 40 derajat sebelum TMA, maka ECU akan menambahkan waktu tunda senilai 20 derajat (yaitu dari 60-40) sebelum memerintahkan koil untuk memantik busi.
Nih gw kasih hitung2an-nya..
- Saat 6000 RPM, berarti kruk as berputar sebanyak 6000 kali tiap menitnya.
- Dengan demikian satu kali putaran butuh waktu selama 60 detik dibagi 6000 putaran yaitu 0.01 detik atau 10 milidetik (ms).
- Satu kali putaran kruk as bernilai 360 derajat, berarti satu derajat putaran saat 6000 RPM ditempuh dalam waktu 10 ms dibagi 360 derajat yaitu 0.027 ms.
- Untuk contoh di atas, waktu tunda senilai 20 derajat berarti 20 x 0.027 = 0.54 ms.
Jadi, setelah mendapatkan sinyal trigger angle di 60 derajat sebelum TMA, ECU akan menunggu selama 0.54 ms dan setelah itu memerintahkan koil untuk memantik busi. Hasilnya adalah timing pengapian yang jatuh di 40 derajat sebelum TMA.
Bisa kebayang kan kalo misalnya acuannya tidak stabil alias berubah-ubah? Misalnya sekarang 60 derajat.. nanti berubah ke 55 derajat.. nanti lagi berubah ke 65 derajat. Dampaknya juga nanti timing pengapiannya tidak akan stabil. Selisih 5 derajat itu besar lho.. Selisih itu bisa membedakan antara dapat torsi maksimum atau piston bolong.
Jadi, untuk konversi ke FS, syarat utamanya adalah punya sudut acuan yang stabil. Gimana caranya? Lanjut ya..
Ketika gw pake sistem FO, ECUnya mengambil sinyal acuan dari pulser. Setelah gw pelajari, tonjolan magnet Tiger lebarnya adalah 22 derajat. Kalau gw bisa pakai salah satu ujung tonjolannya sebagai titik acuan, misalnya ujung yang paling depan yaitu 32 derajat sebelum TMA, sebenarnya tidak ada masalah karena posisi tonjolan ini tidak akan berubah dan selalu stabil. MASALAHNYA.. pulser pada dasarnya adalah VR (variable reluctance) sensor yang sinyal outputnya berupa gelombang sinus yang tidak bisa langsung diumpanin ke ECU karena gelombangnya akan melebar seiring bertambahnya RPM. Gelombang yang melebar = sudut acuan yang berubah-ubah = jelek..

Untuk mengatasi gelombang sinus yang berubah amplitudonya, perlu sebuah rangkaian adaptor yang mengubah gelombang sinus pulser menjadi sinyal digital sebelum diumpankan ke ECU. Rangkaian adaptor tersebut disebut zero-crossing detector. Sesuai namanya, rangkaian ini mendeteksi perubahan polaritas gelombang sinus dari positif menjadi negatif (atau sebaliknya) dan memanfaatkan perubahan polaritas itu sebagai trigger untuk mengeluarkan sinyal digital.

Gambar di atas adalah prinsip kerja zero-crossing detector. Yang di atas adalah sinyal input dan bawah adalah sinyal output. Bisa dilihat ketika polaritas sinus berubah dari positif ke negatif, outputnya HI dan ketika berubah dari negatif ke positif, outputnya LO. Dengan rangkaian ini, perubahan gelombang sinus selebar apapun tidak akan jadi masalah selama masih ada titik perseberangan atau perubahan dari positif ke negatif. Untuk zero-crossing detector, gw pakai IC LM1815 dan rangkaiannya seperti ini.

Jadi udah selesai masalahnya? Belumm.. sabar dulu coy. Coba bayangin gimana kalo titik perubahan polaritasnya tidak pasti. Ga usah jauh-jauh, liat gambar pertama di atas. Bisa lo tentuin kapan titik berubahnya dari positif ke negatif? Susah ya? Masalahnya adalah durasi nol voltnya cukup panjang. Dari gelombang positif, turun ke nol volt dan ada jeda dulu sebelum nongol gelombang negatif. Apa akibatnya? Kalau ada noise sedikit di saat durasi nol volt, akan menyebabkan trigger liar yang disebut jitter. Ini juga akan menyebabkan posisi HI muncul secara acak dan tidak stabil. Berikut ilustrasinya..

Apa yang menyebabkan jitter? Bisa dilihat di atas penyebabnya adalah permukaan tonjolan yang terlalu lebar. Seperti diketahui, gelombang positif muncul ketika perubahan dari permukaan rendah ke tinggi (tonjolan pulser depan) dan gelombang negatif muncul ketika perubahan dari permukaan tinggi ke rendah (tonjolan pulser belakang). Kalau tonjolan pulsernya terlalu lebar (seperti standarnya Tiger yang 22mm panjangnya), jarak gelombang positif dan negatifnya juga akan terlalu jauh sehingga titik pergantian dari positif ke negatif juga tidak jelas. Obatnya pun sudah jelas: pangkas tonjolan pulser. Dengan lebar tonjolan yang sesuai alias tidak terlalu lebar, maka posisi gelombang positif dan negatif akan berhimpit dan titik perubahan dari positif ke negatif akan jelas. Hasilnya jadi ilustrasi di bawah.

Lantas muncul deh pertanyaan: bagian mana yang harus dipangkas? Berapa banyak? Supaya presisi, lebar tonjolannya diusahakan tidak jauh dari diameter "mata" atau "pentilan" pulser, bahasa kerennya sih sensing area. Kalau diperhatikan, di pulser ada tonjolan besi bulat kan? Nah itu yang namanya sensing area. Diameternya biasanya cukup kecil, berkisar 3-5mm.

Supaya presisi, lebar tonjolan pulser juga tidak boleh jauh lebih besar daripada diameter mata pulser. Persis seperti contoh ilustrasi di atas kan? Untuk jelasnya, ini ada bacaan dari manual Megasquirt tentang VR sensor.
 
Bagian mana yang dipotong? Bagian depan (yang posisinya 32 derajat sebelum TMA) atau bagian belakang (yang posisinya 10 derajat sebelum TMA)? Coba bayangin kalo yang dipangkas bagian belakang sehingga yang tersisa tonjolan depan sepanjang 5mm. Berhubung kebetulan pada magnet Tiger satu mm nilainya mendekati satu derajat, berarti sisa tonjolan pulsernya adalah 5 derajat yaitu dari 27 sampai 32 derajat sebelum TMA. Titik perubahan polaritas sinusnya akan jatuh kira-kira di tengah tonjolan yaitu pada 27 + (5/2) = 29.5 derajat. Untuk mudahnya kita bulatkan ke 30 derajat dan angka ini yang menjadi trigger angle di ECU. ECU sebagai otak sistem injeksi tentu butuh waktu untuk "berpikir" dan "berhitung" kan? Kita anggap saja berpikirnya butuh waktu selama beberapa milisekon dan selama jangka waktu tersebut kruk as sudah berputar sebanyak 5 derajat, maka ECU baru bisa memerintahkan koil untuk memercik busi pada posisi 25 derajat sebelum TMA (dari 30 dikurangi 5). Keliatan kan masalahnya? Timing pengapian Tiger aja bisa sampai 32 derajat sebelum TMA. Kalau terbatas pada maksimal 25 derajat, larinya akan lemot dan boros bensin. Jadi berapa nilai ideal untuk trigger angle? Manual ECU Megasquirt menyebutkan kita harus menghindari trigger angle di bawah 50 derajat, jadi untuk gampangnya biasanya trigger angle diusahakan ada di 60 derajat sebelum TMA. Dengan demikian akan ada cukup waktu untuk ECU berpikir sebelum memercikkan busi.
 
Jadi gw harus mindahin posisi tonjolannya ke 60 derajat sebelum TMA? Betul tapi itu kalau mau maksain pakai mode "This Cylinder". Apaan tuh mode? Gw lanjut dulu ya, nanti jelas kok.. Kalo ga mau repot ada solusi lain, yaitu kita justru menyisakan tonjolan belakang sepanjang 5mm, yaitu dari 10 sampai 15 derajat sehingga trigger angle-nya menjadi sekitar 12 derajat. Waduh timing advancenya jadi makin kecil dong? Nah ini dia kuncinya.. kalau trigger angle kita set di bawah 20 derajat (seperti contoh tadi yaitu 12 derajat), Megasquirt akan berubah pakai mode "Next Cylinder". Apa lagi nih? Dalam mode ini, Megasquirt akan menghitung delay untuk timing advance siklus 4-tak berikutnya. Jadi daripada menghitung delay untuk timing siklus saat ini, yang dihitung adalah delay untuk timing siklus berikutnya. Ilustrasinya di bawah ini dan ini link manualnya.

Udah bosen belum? Lanjut ya.. Kelebihannya kalau pakai Next Cylinder mode, kita tidak perlu memindahkan tonjolan magnetnya, cukup dengan pakai tonjolan yang ada dan dipangkas. Kekurangannya? Cara ini tidak sepresisi This Cylinder mode karena selama perhitungan delay yang cukup panjang, kecepatan putaran kruk as belum tentu konstan. Bisa saja makin cepat atau makin lambat. Nanti beresiko posisi timing advancenya bisa sedikit meleset kalau putaran kruk asnya terlalu berbeda dari kondisi sebelumnya.. Cuma berhubung mode ini simpel, gw putuskan untuk pakai cara ini. Akhirnya dengan bermodalkan magnet cadangan yang gw beli dari kaskus, gw pangkas tonjolan pulsernya sampai jadi kayak begini..


Kemudian gw beli koil Honda CB100, kondensor Toyota Kijang dan pake igniter mesin 4A-GE dari Charmant gw dan gw sambung ke output ignition ECU-nya. Lho kok pake igniter? Jadi sistem TCI dong? Hehe iya.. dulu emang gw sempet berencana pakai CDI Tiger yang dimodifikasi dengan maksud supaya bisa diperintah langsung oleh ECU.. tapi entah kenapa kok hidup.. Mungkin ada teori yang kelewat ama gw atau gw rasa ada kaitannya dengan masalah dwell tapi nanti ajalah gw pikirin. Akhirnya terpaksa pakai sistem TCI dengan resiko naiknya konsumsi daya. Mudah2an sistem pengisian akinya ga tekor deh. Mungkin ada pertanyaan, kok pake koil Honda CB100 yang sistem platina? Sebenarnya TCI itu prinsipnya sama dengan sistem platina. Bedanya, pada sistem TCI, platinanya digantikan oleh rangkaian transistor. Jadi pada dasarnya koil sistem platina bisa dipakai pada sistem TCI..



Berikut ini diagram sistem injeksi gw yang terakhir..
Setelah itu, settingan Megasquirtnya sedikit diubah supaya jadi full standalone dan selesai!
Gimana hasilnya? Sebenarnya udah bisa jalan pakai cara begini tapi.. masih agak susah distarter dan gasnya harus ditahan di atas 2000 RPM. Kalau gasnya dilepas dan dibiarin idle, mesinnya bakal nembak-nembak sebelum akhirnya mati. Kalo dipakai jalan dan digeber sih oke banget.. Makanya judul postingan ini adalah (Dikit Lagi) Full Standalone karena masih belum sempurna.. Kenapa bisa begitu? Ini gw masih dalam tahap trial and error jadi belum berani gw publish.. tapi nanti kalo gw udah nemu solusinya supaya sempurna, pasti bakal gw sharing..

Kamis, 13 September 2012

Belalang Tempur

Motor gw makin jadi kayak belalang tempur aja.. Yang nunggangin bukan RX Bio atau RX Robo, tapi RX2.. Speedometer Koso RX2 lebih tepatnya.

Gw akuin itu barang emang ga murah.. meskipun gw beli bekas, tetep aja harganya di atas sejuta. Trus ngapain dibeli? Gw udah eneg sama gir spidometer gw yang oblak. Udah berkali-kali dibenerin, eh lepas lagi. Gw jadi ga ada patokan odometer buat ganti oli.. Nah si RX2 ini pake sistem non-mekanis yang ga rentan rusak yaitu magnet. Gw yakin sistem begini lebih awet daripada sistem kabel aslinya. Udah cuma gitu doang alasannya? Hehe sebenernya gw sih jatuh hati sama fitur Power Test sama monitoring suhunya.. jadi alasannya paling benernya sih gw beli karena fitur.. Power Test bisa ngebantu kita ngecek performa mesin. Kita bisa ngeliat berapa lama waktu 0-100 kpj.. atau berapa detik motor kita bisa nge-drag 1/4 mil. Jadi bisa dibilang kayak punya mesin dyno mini. Sedangkan monitoring suhu bisa ngebantu gw mencegah mesin rusak karena overheat. Ini penting apalagi gw berencana untuk naik turbo..
 
Pemasangannya gw kerjain semua sendiri. Sempet dibuat pusing karena manual book-nya entah kemana dihilangin pemilik sebelumnya. Masa gw mesti nebak-nebak kabel yang segitu banyaknya? Salah-salah malah nanti cuma jadi ganjelan pintu gara-gara kebakar.. Untung softcopy manualnya masih bisa didonlot di websitenya Koso..
Ga sampe sejam, tampilan motor gw jadi begini..

Setengah jam kemudian, jadi begini..

Kok lama amat nyambungin kabel doang aja setengah jam? Sengaja, alon-alon asal ga blunder. Gw cek dan ricek semua sambungan sebelum gw hidupin kontaknya. Yang jelas, saat ini gw belum sambungin sensor suhunya. Koso RX2 ini dapet dua sensor suhu: suhu oli dan suhu air radiator alias coolant. Berhubung Tiger gw keren banget dan ga pake radiator, gw akan pake sensor coolant-nya untuk monitor suhu udara yang dihisap mesin aja. Buat apa? Iseng aja.. Daripada ga dipake, hayo? Untuk suhu oli, sensornya akan gw tanam di tutup tanda magnet. Seharusnya sih di lubang itu, sensornya kena cipratan oli ya?
Sempet pusing juga nyari tempat buat masang speed sensornya.. Untung nemu posisi yang pas..

Baut piringan cakram gw ada enam tapi gw cuma tempelin tiga magnet. Lho kenapa? Karena gw cuma dapet lima magnet dari sellernya. Aslinya sih harusnya ada enam. Gw rasa magnetnya ilang bareng dus dan manual aslinya.
Buat yang mau pasang Koso RX2 ke Honda Tiger, ini gw bantu kasih panduan warna kabelnya.

Saran gw, coba dulu sambungin nomer 1, 2 dan 3 dulu trus coba hidupin kontaknya. Kalau sukses nyala tanpa ada kepulan asap, elo udah relatif aman untuk ngelanjutin wiring-nya. Kalo berasap, jangan minta ganti rugi ama gw ya..
Udah selesai wiringnya? Ini beberapa catatan dari gw untuk settingan di RX2-nya.
 
1. Cycle/Piston Setting
Set ke 2C, 1P dan High Act.. Kok bukan 4C alias 4 tak? Karena koil Tiger memantik busi di setiap putaran mesin. Jadi selain langkah kompresi, busi juga akan memantik di langkah buang. Sistem ini kerennya disebut wasted spark dan menyebabkan seolah-oleh sistem pengapian Tiger berfungsi sebagai pengapian mesin 2 tak. Bingung? Percaya aja deh ama gw.. Wkwkwk. Kalo masih mau maksain diset ke 4C, bacaan RPM elo akan jadi dua kali lipat dari aslinya. Keren sih ada Tiger bisa digeber sampe 15000 RPM.. padahal cuma 7500 tuh.
 
2. Tire Circumference and Sensor Point Setting
Set ke 1821 dan 3P.. tapi jangan ngikutin gw kalo elo ga pake tiga magnet dan ban depan elo bukan 110/70-17. Rem cakram Tiger bisa pake 1, 2, 3 atau 6 magnet. Semakin banyak magnetnya, semakin sering angka speedometernya berubah alias makin presisi. Saran gw sih pake maksimal 3 biji aja. Kenapa? Kalo pake 6 dan hilang satu, elo harus susah payah nyabut 2 biji magnet dari baut cakramnya supaya jumlahnya 3. Semoga sukses deh.. magnetnya kuat banget nempelnya jadi bakal repot banget nyabutnya. Jangan lupa jarak antara magnet dan sensornya maksimal 5-10mm dan huruf N di magnetnya harus mengarah keluar.
 
3. Fuel Gauge Setting
Gw sebenernya ga nyambungin kabel meteran bensinnya. Kenapa? Karena gw pake tangki CB yang ga ada pelampung bensinnya.. Jadi gw cuma bisa nebak aja kalo Tiger perlu diset ke 100, bukan 510. Resistansi gulungan pelampung bensin Honda biasanya 100 ohm sedangkan Yamaha 510 ohm. Gimana kalo Suzuki, Kawasaki, Sanex, Minerva, Changhong atau Samsung atau apalah merk mocin itu? Saran gw, coba-coba aja. Ga bakal rusak kok kalo salah setting.
 
Akhir kata, beginilah tampang Tiger street tracker gw sekarang..
 
 
Rada aneh sih ada jarak di antara lampu dan spidometernya. Ntar deh gw pikirin gimana supaya lebih bagus tampilannya.

Minggu, 09 September 2012

Busi Resistor

Cuma mau sharing hal yang baru gw pelajarin hari ini.. Sejak Tiger gw jadi injeksi, gw kesulitan nge-tune Megasquirtnya dalam keadaan mesin hidup. Maksud gw, kalau mesinnya mati, gw ga ada masalah untuk konek ke MS dengan laptop.. tapi begitu mesin dihidupin, ga berapa lama kemudian MS-nya langsung disconnect. Sempet beberapa hari pusing gara-gara masalah ini. Gimana mau nge-tune fuel map-nya kalau konek aja ga bisa?
Gw udah coba mindahin jalur wiring sensornya menjauh dari jalur pengapian, nambahin grounding, beli kabel USB yang lebih bagus tapi semuanya ga ngefek. Akhirnya setelah browsing lama-lama, gw baca tentang busi ber-resistor. Busi ini bisa dibilang wajib untuk sistem injeksi elektronik. Resistor yang ada di busi ini meredam interferensi elektromagnetik yang ditimbulkan koil pengapian. Interferensi ini bisa menimbulkan noise di sistem elektronik dan audio dan salah satu akibatnya ya seperti masalah yang gw hadapin. Honda Tiger yang aslinya berkarburator jelas tidak pakai busi macam ini, kayak Tiger gw yang pakai NGK D8EA. Akhirnya gw muter-muter nyariin busi resistor untuk Tiger gw. Biasanya sih busi resistor ditandai dengan huruf R di kodenya.
Pertama gw coba cek busi Vixion.. ternyata ukurannya lebih kecil. Terus gw coba cari busi CBR250 tapi ga nemu.. itupun ga jaminan ukurannya sama dengan busi Tiger. Akhirnya setelah pusing muter-muter toko sparepart motor, gw iseng mampir toko sparepart mobil. Gw bilang aja nyari busi yang ukuran dratnya segini (sambi nunjukkin busi Tiger gw) tapi dipake di mobil injeksi. Untung penjualnya mau bantuin.. Setelah ngubek-ngubek 5 menit, akhirnya ketemu.. DENSO XU22PR9. Tau ga bawaan mobil apa? Ternyata punya mobil sejuta umat Avanza-Xenia. Bayar pake duit 20 ribu dan langsung gw bawa pulang..
 

Kekurangan pake busi Avanza ini adalah terminalnya yang tidak bisa dicopot jadi ga muat ke kop kabel busi Tiger. Biasanya terminal ini ada yang bisa dicopot dari ulirnya tapi busi ini bukan tipe seperti itu. Terminalnya menyatu dengan elektrodanya. Akhirnya supaya rapi, gw main ke kampakan mobil dan nyari kabel busi mobil bekas. Gw ambil kop businya dan gw pasang ke kabel koil Tiger gw. Cabut busi Tiger gw dari kop silinder pakai kunci ring 18, masukin busi Avanza pake kunci ring 16, coba starter.. BRUM! Langsung hidup! Pertanda bagus.. gw coba konekin laptop gw ke Megasquirt dengan kondisi mesin langsam dan gw biarin.. 1 menit berlalu, masih belum disconnect.. 2 menit.. 3 menit.. masih OK.. terus gw coba geber gasnya (maksudnya memperbesar arus sepul pengapian ke CDI) dan masih juga belum disconnect. Problem solved!